Sabtu, 03 Juli 2010

KONSERVASI ARAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

BATASAN DAN DEFINISI KONSERVASI
Menurut Keraf (2002) sejak tahun 1980-an, agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mula pertama, istilah ini muncul dalam World Conservation Strategi dari International Union for the Conservation of Nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brouwn dalam bukunya Building a Sustainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer melalui Laporan Brundtland, Our Common Future (1987). Akhirnya, pada tahun 1992, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Hanya, hingga kini paradigma tersebut tidak banyak diimplementasikan, bahkan masih belum luas dipahami dan diketahui. Krisis ekologi masih saja terjadi, penghancuran dan pengrusakan lingkungan hidup terus berlangsung dan bahkan kian tidak terkendali. Artinya, paradigma pembangunan berkelanjutan belum mampu menjawab berbagai persoalan lingkungan hidup.
Mengapa hal ini bisa terjadi??? Keraf (2002) menyatakan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut sebenarnya kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi yang mengunggulkan kembali pembangunan, dengan fokus utamanya berupa pertumbuhan ekonomi. Selain itu, menurut Saleh (2004), krisis ekologi diakibatkan karena agenda pembangunan sumberdaya alam yang telah dijalankan saat ini, tidak melalui pendekatan paradigma pembaruan lingkungan hidup yang meletakkan prinsipnya pada nilai-nilai keberlanjutan kehidupan (keberlanjutan ekologi) maupun jaminan pada hak atas lingkungan hidup sebagai sumber-sumber kehidupan dan asasi rakyat.
Pada tahun 1980, IUCN, UNEP, dan WWF mempublikasikan World Conservation Strategy (Strategi Perlindungan Lingkungan Hidup Sedunia). Sepuluh tahun kemudian, tiga organisasi yang sama mempublikasikan Caring for the Earth (Mempedulikan Dunia), yang membangun pada semua yang telah dipelajari dalam dekade terakhir mengenai kerumitan masalah-masalah dan menunjukkan bagaimana radikal dan luasnya tindakan-tindakan dan obyektif-obyektif yang diperlukan untuk mencapainya.
Pada tahun 1992, di Rio de Janeiro, telah di sepakati dua ketetapan yaitu konvensi perubahan lingkungan global (Climate change) dan keanekaragaman hayati (Biological diversity). Perjanjian ini merupakan perjanjian pertama secara global dalam upaya konservasi sumberdaya termasuk upaya perlindungan keanekaragaman hayati yang harus di tindak lanjuti oleh tiap Negara dengan upaya perlindungan sumberdaya keanekaragaman hayati secara rill. Lebih dari 180 negara di dunia yang sekarang telah melaksanakan konvensi tentang keanekaragaman hayati tersebut.
Secara umum perjanjian tersebut mempunyai tujuan antara lain; upaya perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati, Pemanfaatan yang arif dan berkesinambungan dari tiap komponen biodiversity tadi dan terakhir adalah penyelarasan peningkatan pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan secara komersil atau upaya pemanfaatan sumberdaya dari tingkat terkecil yaitu genetic biodiversity secara arif dan dengan tetap memperhatikan unsur-unsur pelestarian. Namun upaya ini perlu lebih di sesuaikan dengan kondisi Negara masing-masing dengan melihat seluruh aspek pendukung dan potensi negara masing-masing.Khusus dalam upaya konservasi sumberdaya bidang kelautan yang merupakan bagian dari konvensi biodiversity ini di tetapkan di Jakarta tahun 1995 yang dikenal dengan “Jakarta Mandate on Marine and Coastal Biological Diversity”. Konvensi ini merupakan program aksi khusus yang di fokuskan pada upaya manajemen wilayah pesisir dan kelautan secara terpadu, pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkesinambungan, perlindungan area tertentu, upaya budidaya kelautan dan penanganan alien spesies. Ini merupakan pioneer dari seluruh upaya perlindungan keanekaragaman hayati kelautan yang akan ditetapkan oleh sebagain besar Negara yang mempunyai potensi kelautan serta seluruh aspek pendukungnya.
Indonesia sendiri mengaplikasikan upaya tersebut dengan berbagai program-program kerja dan peraturan pemerintah yang menyentuh pada upaya pelestarian sumberdaya pesisir dan kelautan serta adanya kawasan-kawasan konservasi dan taman laut nasional. Wujud rill lain tentunya telah dan tetap di lakukan baik itu sebelum dan sesudah penandatangan perjanjian tadi. Namun upaya serius masih tetap diharapkan lebih banyak, tentunya dengan melihat potensi tiap daerah atau kekhasan keanekaragaman hayati yang ada dan bukan saja dengan upaya perlindungan hewan atau tumbuhan endemik tetapi juga dengan upaya penyelamatan ekosistem yang telah rusak dan lambat laut hilang.
Sejalan dengan karakteristik sumberdaya yang beragam, pengguna wilayah pesisir memiliki kepentingan yang berlainan. Berbagai kepentingan yang tercermin dari pola pemanfaatan yang berbeda-beda, yang lebih lanjut menjadikan wilayah pesisir dan merupakan suatu ruang yang rentan akan konflik. Bersamaan dengan itu, karena peningkatan populasi serta laju pemanfaatan maka sumberdaya pesisir dan laut mengalami degradasi hingga mencapai kondisi yang tidak memungkinkan bagi sumberdaya alam pesisir tersebut untuk memulihkan kondisinya secara alami. Apabila hal ini dibiarkan, sumberdaya pesisir sbagai penunjang kehidupan manusia tidak dapat bertahan ketersediaannya.
Jacub, R. dkk 2004 mengatakan bahwa konservasi berasal dari kata to conserve yang menurut Kamus Theasaurus berarti menyelamatkan, melindungi, melestarikan dan menyimpan, dalam konteks pengelolaan berarti menghemat sumberdaya alam tersebut sehingga ketersediaannya selalu terjaga. Sebagai suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang khas yang semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam konteks sistem ekologi, tidak berfungsinya sistem ekologi wilayah pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda dinamika komponen sistem yang lain yang ada dalam wilayah pesisir dan laut termasuk dinamika pemanfaatannya (Holling et all, 2007 dalam Jacub dkk 2004).
Menurut IUCN (1994) kawasan lindung (protected area) adalah suatu areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya. IUCN mengelompokkan kawasan lindung terdiri atas 6 kategori yaitu: (a) Strict Nature Reserve/Wilderness Area.; (b) National Park; (c) Natural Monument; (d) Habitat/Species Management Area; (e) Protected Landscape/Seascape; dan (f) Managed Resources Protected Area. Upaya konservasi ini telah dirumuskan oleh IUCN dengan mengeluarkan “World Conservation Strategy” tahun 1980 dalam bentuk 3 strategi utama yakni: (1) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; (2) melindungi diversitas genetik; dan (3) pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Demikian juga yang diungkapkan dalam The Encyclopedia Americana (1980), bahwa konservasi merupakan manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian disimpulkan bahwa tujuan utama konservasi adalah keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan spesies termasuk di dalamnya memelihara kualitas lingkungan hidup dari pencemaran .
Pembangunan berkelanjutan adalah: " Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang". Di dalamnya terkandung dua gagasan yaitu : gagasan “kebutuhan” yaitu kebutuhan esensial memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan “keterbatasan” yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, 2001) Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya identik dengan konsep World Conservation Strategy dan saling mendukung artinya bahwa prinsip-prinsip konservasi sangat mendukung pembangunan berkelanjutan.
De Bruyn and Opschoor ( 1994), mengatakan bahwa keberlanjutan pembangunan mungkin agak terabaikan, karena tidak ada suatu tindakan untuk menentukan dasar penilaian kembali cara-cara yang ditempuh terhadap sumberdaya dan lingkungan, sosial dan isu keadilan. Selanjutnya mereka mempelajari hubungan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan dan menyimpulkan bahwa tekanan lingkungan akan bervariasi untuk setiap tahap pembangunan sehingga perlu adanya efisiensi pengalokasian sumberdaya alam dalam kegiatan produksi. Ketidakmampuan pengalokasian sumberdaya alam secara efisien karena terjadinya eksternalitas yang berdampak tidak tercapainya kesejahteraan sosial yang maksimal.
Berdasarkan pada pemahaman pembangunan berkelanjutan tersebut maka konsep konservasi sumberdaya alam pesisir dan lautan sangat penting bagi kepentingan kebudayaan, pelestarian plasma nutfah, rekreasi serta pembangunan pada. Oleh karena itu penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir didasarkan pada tipe ekosistem pesisir dan laut atau perairan lainnya, sehingga dapat dikategorikan apakah sebagai Cagar Alam Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut atau Taman Nasional Laut. Kriteria peruntukan kawasan konservasi di atas didasarkan pada keanekaragaman kandungan jenis-jenis flora dan fauna, tipe ekosistem dan sifat-sifat khusus lainnya. Sasaran utama penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankan produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan (Agardy, 1997).
Penetapan kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yaitu tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah RI, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Berdasarkan fungsinya di perairan pesisir dan laut, kawasan suaka alam laut dibedakan menjadi Kawasan Cagar Alam Laut dan Kawasan Suaka Margasatwa Laut. Kawasan Cagar Alam laut adalah kawasan yang memiliki ekosistem, aspek geologi/fisiologi dan atau spesies yang khas, umumnya digunakan untuk riset ilmiah dan atau pemantauan lingkungan. Sedangkan Kawasan Suaka Margasatwa laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kawasan Pelestarian Alam Laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Di Indonesia kawasan ini memiliki 2 (dua) bentuk kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan taman Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional Laut adalah kawasan pelestarian alam laut yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, parawisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam laut adalah kawasan pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan parawisata dan rekreasi alam.
Dalam penentuan kawasan konservasi laut yang telah ada, baik yang telah ditetapkan berdasarkan surat keputusan ataupun dasar hukum lain, perlu disesuaikan kembali dengan sifat, kondisi serta nilai penting sebagai kawasan konservasi pada masa sekarang. Kawasan konservasi laut yang dimaksud adalah suatu kawasan di pesisir dan laut yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi didalamnya memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya (Bengen, 2000).
Peran utama kawasan konservasi di pesisir dan laut sebagai berikut : (1) melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; (2) meningkatkan hasil perikanan; (3) menyediakan tempat reakresi dan parawisata; (4) memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dan (5) memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir (Agardy, 1997; Barr et al., 1997).

KRITERIA PEMILIHAN LOKASI KAWASAN KONSERVASI
Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di pesisir dan laut menuntut penerapan kriteria. Kriteria berfungsi untuk mengkaji kelayakan suatu lokasi bagi kawasan konservasi.
Penerapan kriteria sangat membantu dalam mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara obyektif, dimana secara mendasar terdiri atas kelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salm et al, 2000).
A. Kriteria ekologi
Nilai suatu ekosistem dan jenis biota di pesisir dan laut dapat ditilik dari riteria sebagai berikut :
a. Keanekaragaman hayati : didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam, harus memperoleh nilai paling tinggi
b. Kealamian : didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya bagi perikanan atau wisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-prosess biologis.
c. Ketergantungan : didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi.
d. Keterwakilan : didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologi atau karakteristik alam lainnya.
e. Keunikan : didasarkan keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah.
f. Integritas : didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologi.
g. Produktivitas : didasaran pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau manusia.
h. Kerentanan : didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi baik oleh pengaruh alam atau akibat aktivitas manusia.

B. Kriteria Sosial
Manfaat sosial dan budaya pesisir dapat ditilik dari kriteria sebagai berikut :
a. Penerimaan sosial : didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat lokal.
b. Kesehatan masyarakat : didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat.
c. Rekreasi : didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk sekitar.
d. Budaya : didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi.
e. Estetika : didasarkan pada nilai keindahan dari lokasi.
f. Konflik kepentingan : didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakatlokal.
g. Keamanan : didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya.
h. Aksesibilitas : didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi baik dari darat maupun laut
i. Kepedulian masyarakat : didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian pendidikan atau pelatihan di dalam loasi dapat berkontribusi pada pengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.
j. Konflik dan Kompatibilitas : didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat aktivitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas anatara sumberdaya alam dan manusia dapat dicapai.

C. Kriteria ekonomi
Manfaat ekonomi pesisir dapat ditilik dari kriteria sebagai berikut :
a. Spesies penting : didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi.
b. Kepentingan perianan : didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan.
c. Bentuk ancaman : didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai loasi bagi manusia.
d. Manfaat ekonomi : didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang.
e. Pariwisata : didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.
Menurut Agardy (1997) bahwa dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan dalam proses pemilihan lokasi, yaitu :
1. Identifikasi habitat dan lingkungan kritis; distribusi sumberdaya ikan ekologis dan ekonomis penting.
2. Teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan; petakan konflik pemanfaatan sumberdaya, berbagai ancaman langsung (over eksploitasi) dan tidak langsung (pecemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya.
3. Tentukan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi.
4. Kajian kelayakan suatu kawasan perioritas yang dapat dijadikan konservasi, berdasarkan proses perencanaan lokasi.
Untuk dapat mencapai sasaran tersebut di atas maka penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut bertujuan untuk :
(1) melindungi habitat-habitat kritis,
(2) Mempertahankan keanekaragaman hayati,
(3) mengkonservasi sumberdaya ikan,
(4) melindungi garis pantai,
(5) melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya,
(6) menyediakan lokasi rekreasi dan parawisata alam,
(7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan
(8)mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan (Kelleher dan Kenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al., 1997; Salm et al., 2000).

PEMANFAATAN KAWASAN KONSERVASI
Pada awalnya, konsep konservasi dipandang sebagai suatu upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam yang menutup kemungkinan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Istilah konservasi (conservation) sering dianalogkan dengan preservasi (preservation) yaitu suatu konsep yang memiliki makna kebalikan dari pemanfaatan (utlization). Konsep ini sering digunakan oleh para ‘ecologist’, ‘environmentalist’ dan ‘conservationist’ untuk menghambat pembangunan. Mereka yang memiliki pemandangan seperti ini adalah para penganut konsep “economic zero growth” yang berorientasi kepada proteksi sumberdaya alam dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah.
Seiring dengan perkembangan konsep pengelolaan sumberdaya alam, pengertian konservasi seperti di atas, mengalami perubahan kearah yang lebih maju. Konservasi tidak lagi dianggap sebagai preservasi semata, tetapi juga telah mengandung aspek pemanfaatan. Bahkan Clark (1998) menganalogkan konservasi sebagai pemanfaatan berkelanjutan (sustaibale use). Artinya apabila suatu kawasan (sumberdaya) itu dilindungi, dirancang dan dikelola secara tepat, dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat dan sebagai sumber devisa negara. Oleh karena itu konservasi memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan pedesaan dan turut menyumbangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya (MacKinnon, et al., 1986).
Di dalam pembangunan ekonomi, konservasi menjembatani kepentingan antara penganut ‘deep environmental’ dengan penganut ‘frontier economy’ yang lebih mementingkan keuntungan sesaat dalam jumlah besar tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Dengan demikian, posisi konservasi dalam pembangunan ekonomi pada dasarnya sama dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan dating (WCED, 1987). Konsep konservasi yang demikian, selain memberikan pertumbuhan ekonomi yang optimal, juga tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.


IUCN (1980) menyusun, strategi konservasi yang disesuaikan dengan kondisi alam di Indonesia meliputi:
Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota ekosistem.
Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia.
Pelestarian di dalam cara-cara pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengatur dan mngendalikan cara pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat diperoleh manfaat yang optimal berkesinambungan.
Dalam Undang Undang No.27 Tahun 2007 tentang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat 19 menyatakan bahwa Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Dalam pemanfaatannya, sumberdaya pesisir dan laut memiliki dimensi keruangan yang sangat kuat. Ruang wilayah pesisir dan laut menjadi titik temu setiap komponen-komponen subsistem yang membentuk sistem pesisir dan laut secara utuh. Setiap kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik keruangan yang masing-masing memiliki batas sendiri-sendiri. Menurut Bengen ( 2002) bahwa kawasan konservasi dibagi atas dua ukuran yaitu : kategori disagregasi (sekelompok kawasan yang berukuran kecil) dan kategori agregasi (sekelompok kawasan yang beukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri, dimana kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Sedangkan kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut akan adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi, maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.
Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Bengen (2002) secara umum pembagian zona disuatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas beberapa zona yaitu :
(1) Zona Inti atau Perlindungan
Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolelir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan untuk eksploitasi ..
(2) Zona Penyangga
Zona ini bersifat lebih terbuka, tapi etap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga disekeliling zoa perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal.
(3) Zona Pemanfaatan
Lokasi di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tapi dapat mentolelir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.
DKP (2008) menyatakan bahwa Penetapan suatu kawasan konservasi suatu perairan bukan hanya untuk perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan yang sarat dengan tindakan pelarangan dan penutupan akses masyarakat. Namun dapat pula dimanfaatkan secara terbatas dengan pengaturan pada zona yang ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberi akses untuk melakukan kegiatannya, dengan pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dapat berupaya :
(1) Penangkapan ikan, dapat dilakukan pada zona penyangga dengan memiliki izin penangkapan, dilakukan berdasarkan daya dukung dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan,metoda penangkapan dan jenis alat penangkapan ikan.
(2) Pembudidayaan Ikan, dapat dilakukan pada zona penyangga , memiliki izin, dan dilakukan berdasarkan jenis ikan yang akan dibudidayakan. Jenis pakan, teknologi, jenis pakan, jumlah unit budidaya, daya dukung dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan.
(3) Pariwisata Alam Perairan, dapat dilakukan di zona pemanfaatan dan zona penyangga, memiliki izin, kegiatan wisata alam dan atau pengusahaan pariwisata.
(4) Penelitian dan Pendidikan, dapat dilakukan di zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan, memiliki izin pemanfatan, bagi orang asing yang akan melakukan penelitian harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press, Inc., San Diego, California.
Barr, J., B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy For the Pacific Coast of Canada. In Munro, N.W.P. and J.H.M. Willison (Eds). Linking Protected Areas with Working Landscapes Conserving Biodiverdity. Proceedings of the Third International Conference on Science and Management of Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May 1997.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. PKSPL-IPB.
Bengen, D. G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta.
Clark, J.R. 1998. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No 327. Rome. Italy.
DKP 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Jakarta. Dephut. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Djajadiningrat S,T,.2001. Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Untuk Generasi Masa Mendatang.
Indrawan Moch, Primack R.,Supriatna J., 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor. Jakarta.
IUCN. 1980. World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable Development. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources - UNEP - WWF. Gland, Switzerland.
IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA wiyh the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Jacub, R., Sulistiyo B., Diamar S., Sumampouw M., Soeprapto, Karsidi., 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT. Pradnya Paramita Jakarta.
Jones, C.O. 1984. An Introduction to the Study of Public Policy, Third Edition, Brooks/Cole Publishing Company, Monterey, California. hal.38.
Kelleher, G. 1999. Guidelines for Marine Protected Areas. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. xxiv + 107 pp.
MacKinnon, J. and K. MacKinnon, C. Graham, T. Jim, 1986. Managing Protected Areas in Tropics. IUCN/UNEP, Swiss.
Salm, Rodney V., J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. IUCN. Washington DC.xxi+371pp.
WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York.

Tidak ada komentar: