Senin, 23 November 2009

Romantisme Ricardian di Atas Karpet Kapitalisme (Pantaskah Taman Nasional Beralih Fungsi menjadi Hutan Produksi)

Romantisme di Atas Karpet Kaum Kapitalisme(Pantaskah Taman Nasional Beralih Fungsi menjadi Hutan Produksi)
By : Hasyim .
Tesis Fukuyama yang menyatakan bahwa hanya ada satu spesies yaitu human capitalisme yang akan eksis di era global sesungguhnya telah runtuh di istana Amerika Serikat dan Eropa. Namun semangat penopang mahzab ini begitu sangat antusias menyembahnya, walaupun alam tempatnya mereka hidup berteriak tak lagi mampu menopang gaya hidup matarialisme manusia.
Alam tempat kita hidup memang diciptakan untuk manusia dalam perspektif yang positif. Sisi lain, alam tersebut memiliki (kadar) batasan daya dukungnya. Pengelolaan manusia terhadap alam yang bersifat eksploratif telah memberikan pelajaran di banyak tempat dengan lahirnya bencana dalam dimensi ekologis, sosial dan materi. Seperti yang disampaikan oleh Adam Smith bahwa derajat kepuasan manusia tak terbatas. Diatas tesis tersebut pengelolaan ekstraktif dioperasionalisasikan. Bahkan pada perkembangannya teori ekonomi biaya dimasukkan tentang efisiensi usaha. Implikasinya setiap pemanfaatan SDA selalu berupaya untuk menekan biaya produksi namun sisi lain mengeruk nilai ekonomi SDA sebesar-besarnya. Bila dibentang dengan pendekatan aktor, sesungguhnya kapitalisasi SDA adalah transaksi kepentingan kalangan aktor elit. Siapa mendapatkan apa dan berapa besar kepentingan tersebut membangun setiap eksistensi mereka. Bahkan epestemic comunity kalangan terdidik menjadi bagian yang turut menciptakan proses tersebut seolah logis dan ilmiah. Sekedar sebuah contoh apa yang terjadi dengan freeport, newmont dan lapindo. Adakah masyarakat lokalnya mendapatkan manfaat secara signifikan. Hampir mustahil, karena dalam proses tersebut masyarakat lokal hanya sebatas aktor sekunder yang dalam interaksi aktor dipandang tidak memiliki power dan force. Hampir setiap kapitalisasi SDA penyelesaiannya selalu di atas meja seremonial yang disebut “prasmanan politik”. Kita bisa mengidentifikasi kalangan mana saja yang memiliki “kartu masuk” untuk mengakses jamuan tersebut.

Istiqomah untuk menjaga kawasan konservasi tidak dalam konteks beromantisme deep ecology. Karena yang lebih substansi ialah”pesan Tuhan” melalui ayat-ayat kauliyah ini bahwa alam semesta yang secara alami memiliki tata ruang bersifat given. Tatanan tersebut bentuk karunia Tuhan untuk menyediakan manusia alam yang bukan semata bisa untuk hidup, tetapi menikmati hidup dalam dimensi yang lebih luas, nyaman, tenang dan damai.
Apa kebutuhan manusia dalam hidup? Pertanyaan itu selalu kita dapatkan dalam buku-buku sufi termasuk ihya ulumudin karya Al Gazali. Dalam perspektif teologis jawabannya sederhana: menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan dengan alam berserta isinya. Teringat aku salah satu firman Tuhan pada Kitab kejadian 2 : 15 Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalan Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.Kalimat tersebut dalam terminologi agama disebut ibadah, ibadah dalam arti untuk mengusahakan dan memelihara merupakan satu kesatuan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan .
Namun para kaum kapitalis, hanya mengambil satu kata dari firman Tuhan tsb yakni mengusahakan dengan sebebas-bebasnya, mengeruk atau mengeksploitasi kekayaan alam tanpa batas dengan mengumpulkan pundi-pundi dolar . Sangat mengerikan firman Tuhan yang dipelintir dan di utak-atik untuk kepentingan pribadi. Pandanan theologis sebenarnya adalah sumber daya alam (SDA) harusnya diusahakan dan dipelihara , key wordnya adalah pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan(sustainable).
Perubahan kawasan taman nasional, diyakini oleh pihak tertentu sebagai fakta lapangan. Berdasarkan reskoring menunjukkan kawasan tersebut sudah tidak lagi ideal alias mengalami degradasi serius. Sehingga rekomendasi mereka perlu perubahan status kawasan. Kondisi tersebut analogi sebagai berikut: kita ramai-ramai naik perahu ditengah jalan perahu kita bocor. Apakah perahu tersebut harus ramai-ramai ditambah bocornya atau digergaji sekalian kemudian dijual perlembar kayu beserta asset yang ada di dalamnya. Bagi kalangan kapitalisme pastilah perahu tadi digergaji dan dijual asset2nya. Dan mereka yang banyak tadi tidak akan saling berfikir satu dengan yang lainnya. Karena yang terpenting bagi mereka mendapatkan untung sebanyak-banyak. Tapi ingat tidak semuanya seperti mereka, karena diantara mereka ada yang memiliki pandangan bahwa perahu tersebut bukan hanya sesuatu barang ekonomi tetapi yang lebih substansi perahu itu kehidupan mereka. Hilangnya perahu sama dengan hilangnya kehidupan itu sendiri. Perubahan kawasan hutan konservasi semata berdimensi ricardianis di atas karpet merah yang bertaburan butiran-butiran kapitalisme , sebaiknya menjadi renungan bersama untuk merubah mindset kita yakni mengusahakan dan memelihara ekosistem kita dengan lebih bijaksana dengan sistem berkelanjutan yang senantiasa berbasis masyarakat .

Minggu, 22 November 2009

PULAU TERLUAR YANG TERPINGGIRKAN

PULAU TERLUAR YANG TERPINGGIRKAN
By: Gladys Peuru
Nasib Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) kemungkinan sudah usang membicarakannya, tetapi tidak akan basi untuk mengungkapnya karena fungsinya sebagai penentu batas-batas wilayah. Wawasan Nusantara hanya akan menjadi wacana kosong bila tidak mengenal nama dan dimana pulau-pulau tersebut berada. Terlalu banyak buih di mulut daripada optimalisasi rekaman kaset di otak. Begitulah kurang lebih ungkapannya. Tidak berlebihan bila PPKT menjadi garda terdepan dalam menjaga wilayah kedaulatan Indonesia. Posisinya sangat strategis untuk menarik garis Batas Laut Teritorial, Zona Tambahan, Batas Landas Kontinen, dan zona ekonomi Eksklusif. Indonesia sebagai negara kepulauan yang telah diakui oleh UNCLOS dan telah diratifikasi, berhak menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar (TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam kerangka kedaulatan negara. Dipertegas lagi oleh PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Di situ disebutkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi acuan menarik garis pangkal. Anggapan bahwa PPKT merupakan pulau liar tak terurus dan seonggok batu karang, tidak selamanya benar. Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan bervegetasi lebat sampai jarang. Selain itu beberapa PPKT memiliki potensi wisata, keanekaragaman terumbu karang, dan sumber daya perikanan.
Membicarakan nasib PPKT memang terkadang gampang-gampang susah atau manis di teori tapi pelaksanaannya selalu kabur, kenapa saya katakan kabur karena sampai saat ini PPKT tidak berhenti mengalami gonjangan yang super dasyat yakni terpinggirkan dan selalu di menjadi ban serep dalam setiap realita pembangunan. Sangat menyedihkan….! Kasus Sipadan Ligitan yang terpisahkan dari rangkaian pulau-pulau di Indonesia pada tahun 2002 bukan menjadi suatu pelajaran berharga malahan menjadi awal dari kelitikan-kelitikan kecil untuk dipisahkan dari NKRI, bermunculan keinginan penjualan asset negara yang nota bene penentu batas wilayah yakni pulau mentawai…belum selesai pulau mentawai muncul lagi kasus baru pulau Jemur yang siap dijual. Wow……., gimana dengan anak cucu kita nanti…,apakah mereka hanya mengenal nama pulau tersebut tapi tidak memilikinya, atau memilikinya hanya diatas secarik kertas tapi di manfaatkan oleh Negara lain….?
Dari renungan kecil ini kuberharap bahwa…..gempita pemilu dan kemenangan dekmokrasi yang hakiki kemarin, serta pemilihan para menteri yang luarbiasa akan membawa kita kepada suatu kecintaan penuh akan kebersatuan NKRI yang manis dan terjalin rapi penuh keeratan antara pulau yang satu dengan lainnya dengan suatu program yang solid dan pasti untuk menjaga jalinan mutiara berbagai pulau perbatasan dari sabang sampai merauke dengan program-program yang memberdayakannya sebagai halaman depan rumah kita Indonesia tercinta dengan rapi cantik dan menarik sehingga takkan terusik oleh Negara Tetangga.


Jumat, 20 November 2009

MAU DI BAWA KEMANA PULAUKU NAN ELOK….???

Ketika kita menjejakkan kaki kita di pulau lingayan, banyak hal menarik yang kita jumpai di pulau ini. Pulau yang sangat perawan yang belum dijamah oleh kemajuan tehnologi, semakin memperlihatkan pesona alamiahnya.
Sambutan hamparan pasir halus berwarna putih membuat kita terhenyak bagai berjalan di atas permadani stana. Sapaan keramahan masyarakat di sini yang berasal dari berbagai etnis membuat kita betah untuk berlama-lama di pulau ini.
Hari ini kami serombongan teman2 menginap selama 3 hari di pulau nan elok, membuat kebetahan yang semakin terasa, kami menyusuri pesisir pantai pulau yang memiliki luas 122,55ha, di bagian utara terdapat segerombolan hutan mangrove dengan berbagai jenis, sangat mudah untuk mengenalinya…,berjalan lagi sedikit terdapat kumpulan bebatuan dengan berbagai bentuk yang unik. Wou…keren…cuantik buanget. Perjalanan belum nyampe ke bagian selatan kami sudah mendapatkan beberapa ttik tempat penyu bertelur, keinginan untuk melihat proses bertelur dan turun ke laut tidak dapat kami lakukan karena belum musim kata guide kami sang kepala dusun, rugi bener…! Langkah kami gontai menyusuri pesisir pantai kami temui karaker pasir yang bagai permadani halus…..,lembut….,putih…sangat cantik, ingin kubermain sepuasnya di hamparan pasir membentuk gundukan bangunan, kolam-kolam dan macam2 permainan, seperti anak kecil tapi semuanya tidak dapat kulakukan karena waktu udah menjelang sore. Akhirnya kami mempercepat langkah kaki kami untuk tiba di rumah.
Esok hari perjalanan mengelilingi pantai dilanjutkan, ternyata pulau ini benar2 sangat cantik karena di dominasi oleh hamparan pasir putih yang lembut. Setelah selesai mengelilingi pantai kami melepaskan rasa lelah kami di bawah pohon kelapa sambil minum air kelapa , uenak…tenan…, org manado bilang pe sdap skali…! Kemudian kami melanjutkan kegiatan kami untuk menerobos kecantikan hamparan terumbu karang yang terbentang seluas 1500 m2, pemandangan terumbu karang yang membuat kebetahan bagi kami. Tutupan karang yang sangat menarik semakin menambah pesona pulau lingayan.
Pulau Lingayan merupakan pesona alami yang sangat fantastic dan tidak akan dijumpai di tempai lain, pesonanya tidak dapat di uraikan dengan kata2.
Pulau lingayan yang merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Negara Malasyia sangat wajar untuk diberdayakan sebagai daerah wisata. Kenapa harus wisata…apakah tidak ada kegiatan yang lain selain pariwisata …? Pertanyaan ini sering bermunculan apabila aku diskusikan dengan beberapa teman2. Ku jawab pertanyaan mereka bahwa pulau ini cantik, menarik, dan sangat virgin…! Apa kata mereka….nonsens bunda…., ini tidak akan menjawab goal dari apa yang bunda inginkan dan harapkan..! why…., ….sebab ketersediaan sumberdaya hanyalah pemicu perjalanan menuju pengembangan pariwisata, bgmn bisa ada pariwisata kalau tanpa dukungan wisatawan dan penduduk local yang menggunakan sumberdaya itu…, bagaimana aksesbilitasnya…untuk mencapai produk dari objek wisata itu…? Ini semua mengingatkanku pada pernyataan Kelly (1998) dan Gunn (2002) bahwa unsur terpenting bagi permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal, serta ketersediaan waktu dan kelompok pengguna produk tsb, contohnya bahwa pada tahun 1994 rata2 60persen penduduk negara-negara Eropa Barat melakukan perjalanan wisata sekurang-kurannya selama 5 hari. Mundt (1998) menyatakan bahwa persentase tertinggi oleh Jerman (78 %) disusul Swiss (72 %) dan Denmark (71 %), merekalah konsumen utama yang mengonsumsi produk dan layanan wisata yang disediakan di negara atau tujuan wisata.
Benar sekali pernyataan di atas…,namun satu hal yang membuatku untuk memicu harapanku untuk memberdayakan pulau lingayan adalah karena sumberdayanya yang menarik sehingga dapat mengundang wistawan namun sifatnya yang unik yakni berada di wilayah perbatasan. Kenapa….sebab memberdayakan pulau perbatasan dengan produk ekowisata adalah hal terpenting dan cara mudah untuk mendapatkan pengakuan dari dunia International tentang kepemilikan pulau ini.
Masih melekat di benakku mengenai hak kepemilikan pulau Sipadan Ligitan…., Hilangnya dua pulau tersebut dari pangkuan pertiwi bukan saja berarti hilangnya suatu wilayah kecil nusantara namun berimplikasi pada perubahan batas negara termasuk hilangnya potensi penguasaan wilayah laut teritorial dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ZEE (Zone Ekonomi Ekslusif). Kerugian yang tak ternilai secara ekonomi adalah bahwa lepasnya kedua pulau tersebut telah mengusik rasa kebangsaan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan. Tiga aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia yakni keberadaan secara terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation). Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Hayo….gimana untuk mencegah terulangnya hal tsb diatas…?, nah..satu2nya adalah berdayakan pulau perbatasan sebagai beranda depan rumah kita, apabila diperlakukan sebagai beranda depan maka yang ada di benak kita adalah berdayakan dan berdayakan secantik mungkin untuk mengundang tamu-tamu yang akan mengakui bahwa pulau ini adalah milik kita Negara Republik Indonesia dan yang paling menarik adalah pariwisata, karena kehadiran wisatawan asing akan memberikan suatu pengakuan yang hakiki di kancah International’
Wahai…sahabat-sahabatku yang jaoh di mato…, mari kita bersatu hati membangun pulau perbatasan dengan strategi kepemilikan dan penguasaan secara terus menerus dengan mempersolek nya dengan strategi dan program yang aduhai…..pariwisata….oh…pariwisata.....kugenggam erat ide awalku yang kubangun dalam harapan-harapanku…,atau bisakah…aku mengkolaborasikan pariwisata dan konservasi…? Pasti sangat menarik…,tulisan akan berlanjut dalam rangkaian ide dan strategi pengelolaan berkelanjutan dengan tujuan mulia mensejahterakan masyarakat yang terpinggirkan.