Sabtu, 03 Juli 2010

KONSERVASI ARAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

BATASAN DAN DEFINISI KONSERVASI
Menurut Keraf (2002) sejak tahun 1980-an, agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mula pertama, istilah ini muncul dalam World Conservation Strategi dari International Union for the Conservation of Nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brouwn dalam bukunya Building a Sustainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer melalui Laporan Brundtland, Our Common Future (1987). Akhirnya, pada tahun 1992, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Hanya, hingga kini paradigma tersebut tidak banyak diimplementasikan, bahkan masih belum luas dipahami dan diketahui. Krisis ekologi masih saja terjadi, penghancuran dan pengrusakan lingkungan hidup terus berlangsung dan bahkan kian tidak terkendali. Artinya, paradigma pembangunan berkelanjutan belum mampu menjawab berbagai persoalan lingkungan hidup.
Mengapa hal ini bisa terjadi??? Keraf (2002) menyatakan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut sebenarnya kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi yang mengunggulkan kembali pembangunan, dengan fokus utamanya berupa pertumbuhan ekonomi. Selain itu, menurut Saleh (2004), krisis ekologi diakibatkan karena agenda pembangunan sumberdaya alam yang telah dijalankan saat ini, tidak melalui pendekatan paradigma pembaruan lingkungan hidup yang meletakkan prinsipnya pada nilai-nilai keberlanjutan kehidupan (keberlanjutan ekologi) maupun jaminan pada hak atas lingkungan hidup sebagai sumber-sumber kehidupan dan asasi rakyat.
Pada tahun 1980, IUCN, UNEP, dan WWF mempublikasikan World Conservation Strategy (Strategi Perlindungan Lingkungan Hidup Sedunia). Sepuluh tahun kemudian, tiga organisasi yang sama mempublikasikan Caring for the Earth (Mempedulikan Dunia), yang membangun pada semua yang telah dipelajari dalam dekade terakhir mengenai kerumitan masalah-masalah dan menunjukkan bagaimana radikal dan luasnya tindakan-tindakan dan obyektif-obyektif yang diperlukan untuk mencapainya.
Pada tahun 1992, di Rio de Janeiro, telah di sepakati dua ketetapan yaitu konvensi perubahan lingkungan global (Climate change) dan keanekaragaman hayati (Biological diversity). Perjanjian ini merupakan perjanjian pertama secara global dalam upaya konservasi sumberdaya termasuk upaya perlindungan keanekaragaman hayati yang harus di tindak lanjuti oleh tiap Negara dengan upaya perlindungan sumberdaya keanekaragaman hayati secara rill. Lebih dari 180 negara di dunia yang sekarang telah melaksanakan konvensi tentang keanekaragaman hayati tersebut.
Secara umum perjanjian tersebut mempunyai tujuan antara lain; upaya perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati, Pemanfaatan yang arif dan berkesinambungan dari tiap komponen biodiversity tadi dan terakhir adalah penyelarasan peningkatan pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan secara komersil atau upaya pemanfaatan sumberdaya dari tingkat terkecil yaitu genetic biodiversity secara arif dan dengan tetap memperhatikan unsur-unsur pelestarian. Namun upaya ini perlu lebih di sesuaikan dengan kondisi Negara masing-masing dengan melihat seluruh aspek pendukung dan potensi negara masing-masing.Khusus dalam upaya konservasi sumberdaya bidang kelautan yang merupakan bagian dari konvensi biodiversity ini di tetapkan di Jakarta tahun 1995 yang dikenal dengan “Jakarta Mandate on Marine and Coastal Biological Diversity”. Konvensi ini merupakan program aksi khusus yang di fokuskan pada upaya manajemen wilayah pesisir dan kelautan secara terpadu, pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkesinambungan, perlindungan area tertentu, upaya budidaya kelautan dan penanganan alien spesies. Ini merupakan pioneer dari seluruh upaya perlindungan keanekaragaman hayati kelautan yang akan ditetapkan oleh sebagain besar Negara yang mempunyai potensi kelautan serta seluruh aspek pendukungnya.
Indonesia sendiri mengaplikasikan upaya tersebut dengan berbagai program-program kerja dan peraturan pemerintah yang menyentuh pada upaya pelestarian sumberdaya pesisir dan kelautan serta adanya kawasan-kawasan konservasi dan taman laut nasional. Wujud rill lain tentunya telah dan tetap di lakukan baik itu sebelum dan sesudah penandatangan perjanjian tadi. Namun upaya serius masih tetap diharapkan lebih banyak, tentunya dengan melihat potensi tiap daerah atau kekhasan keanekaragaman hayati yang ada dan bukan saja dengan upaya perlindungan hewan atau tumbuhan endemik tetapi juga dengan upaya penyelamatan ekosistem yang telah rusak dan lambat laut hilang.
Sejalan dengan karakteristik sumberdaya yang beragam, pengguna wilayah pesisir memiliki kepentingan yang berlainan. Berbagai kepentingan yang tercermin dari pola pemanfaatan yang berbeda-beda, yang lebih lanjut menjadikan wilayah pesisir dan merupakan suatu ruang yang rentan akan konflik. Bersamaan dengan itu, karena peningkatan populasi serta laju pemanfaatan maka sumberdaya pesisir dan laut mengalami degradasi hingga mencapai kondisi yang tidak memungkinkan bagi sumberdaya alam pesisir tersebut untuk memulihkan kondisinya secara alami. Apabila hal ini dibiarkan, sumberdaya pesisir sbagai penunjang kehidupan manusia tidak dapat bertahan ketersediaannya.
Jacub, R. dkk 2004 mengatakan bahwa konservasi berasal dari kata to conserve yang menurut Kamus Theasaurus berarti menyelamatkan, melindungi, melestarikan dan menyimpan, dalam konteks pengelolaan berarti menghemat sumberdaya alam tersebut sehingga ketersediaannya selalu terjaga. Sebagai suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang khas yang semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam konteks sistem ekologi, tidak berfungsinya sistem ekologi wilayah pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda dinamika komponen sistem yang lain yang ada dalam wilayah pesisir dan laut termasuk dinamika pemanfaatannya (Holling et all, 2007 dalam Jacub dkk 2004).
Menurut IUCN (1994) kawasan lindung (protected area) adalah suatu areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya. IUCN mengelompokkan kawasan lindung terdiri atas 6 kategori yaitu: (a) Strict Nature Reserve/Wilderness Area.; (b) National Park; (c) Natural Monument; (d) Habitat/Species Management Area; (e) Protected Landscape/Seascape; dan (f) Managed Resources Protected Area. Upaya konservasi ini telah dirumuskan oleh IUCN dengan mengeluarkan “World Conservation Strategy” tahun 1980 dalam bentuk 3 strategi utama yakni: (1) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; (2) melindungi diversitas genetik; dan (3) pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Demikian juga yang diungkapkan dalam The Encyclopedia Americana (1980), bahwa konservasi merupakan manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian disimpulkan bahwa tujuan utama konservasi adalah keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan spesies termasuk di dalamnya memelihara kualitas lingkungan hidup dari pencemaran .
Pembangunan berkelanjutan adalah: " Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang". Di dalamnya terkandung dua gagasan yaitu : gagasan “kebutuhan” yaitu kebutuhan esensial memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan “keterbatasan” yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, 2001) Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya identik dengan konsep World Conservation Strategy dan saling mendukung artinya bahwa prinsip-prinsip konservasi sangat mendukung pembangunan berkelanjutan.
De Bruyn and Opschoor ( 1994), mengatakan bahwa keberlanjutan pembangunan mungkin agak terabaikan, karena tidak ada suatu tindakan untuk menentukan dasar penilaian kembali cara-cara yang ditempuh terhadap sumberdaya dan lingkungan, sosial dan isu keadilan. Selanjutnya mereka mempelajari hubungan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan dan menyimpulkan bahwa tekanan lingkungan akan bervariasi untuk setiap tahap pembangunan sehingga perlu adanya efisiensi pengalokasian sumberdaya alam dalam kegiatan produksi. Ketidakmampuan pengalokasian sumberdaya alam secara efisien karena terjadinya eksternalitas yang berdampak tidak tercapainya kesejahteraan sosial yang maksimal.
Berdasarkan pada pemahaman pembangunan berkelanjutan tersebut maka konsep konservasi sumberdaya alam pesisir dan lautan sangat penting bagi kepentingan kebudayaan, pelestarian plasma nutfah, rekreasi serta pembangunan pada. Oleh karena itu penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir didasarkan pada tipe ekosistem pesisir dan laut atau perairan lainnya, sehingga dapat dikategorikan apakah sebagai Cagar Alam Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut atau Taman Nasional Laut. Kriteria peruntukan kawasan konservasi di atas didasarkan pada keanekaragaman kandungan jenis-jenis flora dan fauna, tipe ekosistem dan sifat-sifat khusus lainnya. Sasaran utama penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankan produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan (Agardy, 1997).
Penetapan kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yaitu tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah RI, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Berdasarkan fungsinya di perairan pesisir dan laut, kawasan suaka alam laut dibedakan menjadi Kawasan Cagar Alam Laut dan Kawasan Suaka Margasatwa Laut. Kawasan Cagar Alam laut adalah kawasan yang memiliki ekosistem, aspek geologi/fisiologi dan atau spesies yang khas, umumnya digunakan untuk riset ilmiah dan atau pemantauan lingkungan. Sedangkan Kawasan Suaka Margasatwa laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kawasan Pelestarian Alam Laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Di Indonesia kawasan ini memiliki 2 (dua) bentuk kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan taman Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional Laut adalah kawasan pelestarian alam laut yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, parawisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam laut adalah kawasan pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan parawisata dan rekreasi alam.
Dalam penentuan kawasan konservasi laut yang telah ada, baik yang telah ditetapkan berdasarkan surat keputusan ataupun dasar hukum lain, perlu disesuaikan kembali dengan sifat, kondisi serta nilai penting sebagai kawasan konservasi pada masa sekarang. Kawasan konservasi laut yang dimaksud adalah suatu kawasan di pesisir dan laut yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi didalamnya memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya (Bengen, 2000).
Peran utama kawasan konservasi di pesisir dan laut sebagai berikut : (1) melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; (2) meningkatkan hasil perikanan; (3) menyediakan tempat reakresi dan parawisata; (4) memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dan (5) memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir (Agardy, 1997; Barr et al., 1997).

KRITERIA PEMILIHAN LOKASI KAWASAN KONSERVASI
Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di pesisir dan laut menuntut penerapan kriteria. Kriteria berfungsi untuk mengkaji kelayakan suatu lokasi bagi kawasan konservasi.
Penerapan kriteria sangat membantu dalam mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara obyektif, dimana secara mendasar terdiri atas kelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salm et al, 2000).
A. Kriteria ekologi
Nilai suatu ekosistem dan jenis biota di pesisir dan laut dapat ditilik dari riteria sebagai berikut :
a. Keanekaragaman hayati : didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam, harus memperoleh nilai paling tinggi
b. Kealamian : didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya bagi perikanan atau wisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-prosess biologis.
c. Ketergantungan : didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi.
d. Keterwakilan : didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologi atau karakteristik alam lainnya.
e. Keunikan : didasarkan keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah.
f. Integritas : didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologi.
g. Produktivitas : didasaran pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau manusia.
h. Kerentanan : didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi baik oleh pengaruh alam atau akibat aktivitas manusia.

B. Kriteria Sosial
Manfaat sosial dan budaya pesisir dapat ditilik dari kriteria sebagai berikut :
a. Penerimaan sosial : didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat lokal.
b. Kesehatan masyarakat : didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat.
c. Rekreasi : didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk sekitar.
d. Budaya : didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi.
e. Estetika : didasarkan pada nilai keindahan dari lokasi.
f. Konflik kepentingan : didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakatlokal.
g. Keamanan : didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya.
h. Aksesibilitas : didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi baik dari darat maupun laut
i. Kepedulian masyarakat : didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian pendidikan atau pelatihan di dalam loasi dapat berkontribusi pada pengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.
j. Konflik dan Kompatibilitas : didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat aktivitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas anatara sumberdaya alam dan manusia dapat dicapai.

C. Kriteria ekonomi
Manfaat ekonomi pesisir dapat ditilik dari kriteria sebagai berikut :
a. Spesies penting : didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi.
b. Kepentingan perianan : didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan.
c. Bentuk ancaman : didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai loasi bagi manusia.
d. Manfaat ekonomi : didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang.
e. Pariwisata : didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.
Menurut Agardy (1997) bahwa dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan dalam proses pemilihan lokasi, yaitu :
1. Identifikasi habitat dan lingkungan kritis; distribusi sumberdaya ikan ekologis dan ekonomis penting.
2. Teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan; petakan konflik pemanfaatan sumberdaya, berbagai ancaman langsung (over eksploitasi) dan tidak langsung (pecemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya.
3. Tentukan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi.
4. Kajian kelayakan suatu kawasan perioritas yang dapat dijadikan konservasi, berdasarkan proses perencanaan lokasi.
Untuk dapat mencapai sasaran tersebut di atas maka penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut bertujuan untuk :
(1) melindungi habitat-habitat kritis,
(2) Mempertahankan keanekaragaman hayati,
(3) mengkonservasi sumberdaya ikan,
(4) melindungi garis pantai,
(5) melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya,
(6) menyediakan lokasi rekreasi dan parawisata alam,
(7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan
(8)mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan (Kelleher dan Kenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al., 1997; Salm et al., 2000).

PEMANFAATAN KAWASAN KONSERVASI
Pada awalnya, konsep konservasi dipandang sebagai suatu upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam yang menutup kemungkinan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Istilah konservasi (conservation) sering dianalogkan dengan preservasi (preservation) yaitu suatu konsep yang memiliki makna kebalikan dari pemanfaatan (utlization). Konsep ini sering digunakan oleh para ‘ecologist’, ‘environmentalist’ dan ‘conservationist’ untuk menghambat pembangunan. Mereka yang memiliki pemandangan seperti ini adalah para penganut konsep “economic zero growth” yang berorientasi kepada proteksi sumberdaya alam dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah.
Seiring dengan perkembangan konsep pengelolaan sumberdaya alam, pengertian konservasi seperti di atas, mengalami perubahan kearah yang lebih maju. Konservasi tidak lagi dianggap sebagai preservasi semata, tetapi juga telah mengandung aspek pemanfaatan. Bahkan Clark (1998) menganalogkan konservasi sebagai pemanfaatan berkelanjutan (sustaibale use). Artinya apabila suatu kawasan (sumberdaya) itu dilindungi, dirancang dan dikelola secara tepat, dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat dan sebagai sumber devisa negara. Oleh karena itu konservasi memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan pedesaan dan turut menyumbangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya (MacKinnon, et al., 1986).
Di dalam pembangunan ekonomi, konservasi menjembatani kepentingan antara penganut ‘deep environmental’ dengan penganut ‘frontier economy’ yang lebih mementingkan keuntungan sesaat dalam jumlah besar tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Dengan demikian, posisi konservasi dalam pembangunan ekonomi pada dasarnya sama dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan dating (WCED, 1987). Konsep konservasi yang demikian, selain memberikan pertumbuhan ekonomi yang optimal, juga tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.


IUCN (1980) menyusun, strategi konservasi yang disesuaikan dengan kondisi alam di Indonesia meliputi:
Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota ekosistem.
Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia.
Pelestarian di dalam cara-cara pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengatur dan mngendalikan cara pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat diperoleh manfaat yang optimal berkesinambungan.
Dalam Undang Undang No.27 Tahun 2007 tentang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat 19 menyatakan bahwa Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Dalam pemanfaatannya, sumberdaya pesisir dan laut memiliki dimensi keruangan yang sangat kuat. Ruang wilayah pesisir dan laut menjadi titik temu setiap komponen-komponen subsistem yang membentuk sistem pesisir dan laut secara utuh. Setiap kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik keruangan yang masing-masing memiliki batas sendiri-sendiri. Menurut Bengen ( 2002) bahwa kawasan konservasi dibagi atas dua ukuran yaitu : kategori disagregasi (sekelompok kawasan yang berukuran kecil) dan kategori agregasi (sekelompok kawasan yang beukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri, dimana kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Sedangkan kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut akan adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi, maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.
Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Bengen (2002) secara umum pembagian zona disuatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas beberapa zona yaitu :
(1) Zona Inti atau Perlindungan
Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolelir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan untuk eksploitasi ..
(2) Zona Penyangga
Zona ini bersifat lebih terbuka, tapi etap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga disekeliling zoa perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal.
(3) Zona Pemanfaatan
Lokasi di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tapi dapat mentolelir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.
DKP (2008) menyatakan bahwa Penetapan suatu kawasan konservasi suatu perairan bukan hanya untuk perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan yang sarat dengan tindakan pelarangan dan penutupan akses masyarakat. Namun dapat pula dimanfaatkan secara terbatas dengan pengaturan pada zona yang ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberi akses untuk melakukan kegiatannya, dengan pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dapat berupaya :
(1) Penangkapan ikan, dapat dilakukan pada zona penyangga dengan memiliki izin penangkapan, dilakukan berdasarkan daya dukung dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan,metoda penangkapan dan jenis alat penangkapan ikan.
(2) Pembudidayaan Ikan, dapat dilakukan pada zona penyangga , memiliki izin, dan dilakukan berdasarkan jenis ikan yang akan dibudidayakan. Jenis pakan, teknologi, jenis pakan, jumlah unit budidaya, daya dukung dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan.
(3) Pariwisata Alam Perairan, dapat dilakukan di zona pemanfaatan dan zona penyangga, memiliki izin, kegiatan wisata alam dan atau pengusahaan pariwisata.
(4) Penelitian dan Pendidikan, dapat dilakukan di zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan, memiliki izin pemanfatan, bagi orang asing yang akan melakukan penelitian harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press, Inc., San Diego, California.
Barr, J., B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy For the Pacific Coast of Canada. In Munro, N.W.P. and J.H.M. Willison (Eds). Linking Protected Areas with Working Landscapes Conserving Biodiverdity. Proceedings of the Third International Conference on Science and Management of Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May 1997.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. PKSPL-IPB.
Bengen, D. G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta.
Clark, J.R. 1998. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No 327. Rome. Italy.
DKP 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Jakarta. Dephut. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Djajadiningrat S,T,.2001. Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Untuk Generasi Masa Mendatang.
Indrawan Moch, Primack R.,Supriatna J., 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor. Jakarta.
IUCN. 1980. World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable Development. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources - UNEP - WWF. Gland, Switzerland.
IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA wiyh the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Jacub, R., Sulistiyo B., Diamar S., Sumampouw M., Soeprapto, Karsidi., 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT. Pradnya Paramita Jakarta.
Jones, C.O. 1984. An Introduction to the Study of Public Policy, Third Edition, Brooks/Cole Publishing Company, Monterey, California. hal.38.
Kelleher, G. 1999. Guidelines for Marine Protected Areas. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. xxiv + 107 pp.
MacKinnon, J. and K. MacKinnon, C. Graham, T. Jim, 1986. Managing Protected Areas in Tropics. IUCN/UNEP, Swiss.
Salm, Rodney V., J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. IUCN. Washington DC.xxi+371pp.
WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York.

Senin, 23 November 2009

Romantisme Ricardian di Atas Karpet Kapitalisme (Pantaskah Taman Nasional Beralih Fungsi menjadi Hutan Produksi)

Romantisme di Atas Karpet Kaum Kapitalisme(Pantaskah Taman Nasional Beralih Fungsi menjadi Hutan Produksi)
By : Hasyim .
Tesis Fukuyama yang menyatakan bahwa hanya ada satu spesies yaitu human capitalisme yang akan eksis di era global sesungguhnya telah runtuh di istana Amerika Serikat dan Eropa. Namun semangat penopang mahzab ini begitu sangat antusias menyembahnya, walaupun alam tempatnya mereka hidup berteriak tak lagi mampu menopang gaya hidup matarialisme manusia.
Alam tempat kita hidup memang diciptakan untuk manusia dalam perspektif yang positif. Sisi lain, alam tersebut memiliki (kadar) batasan daya dukungnya. Pengelolaan manusia terhadap alam yang bersifat eksploratif telah memberikan pelajaran di banyak tempat dengan lahirnya bencana dalam dimensi ekologis, sosial dan materi. Seperti yang disampaikan oleh Adam Smith bahwa derajat kepuasan manusia tak terbatas. Diatas tesis tersebut pengelolaan ekstraktif dioperasionalisasikan. Bahkan pada perkembangannya teori ekonomi biaya dimasukkan tentang efisiensi usaha. Implikasinya setiap pemanfaatan SDA selalu berupaya untuk menekan biaya produksi namun sisi lain mengeruk nilai ekonomi SDA sebesar-besarnya. Bila dibentang dengan pendekatan aktor, sesungguhnya kapitalisasi SDA adalah transaksi kepentingan kalangan aktor elit. Siapa mendapatkan apa dan berapa besar kepentingan tersebut membangun setiap eksistensi mereka. Bahkan epestemic comunity kalangan terdidik menjadi bagian yang turut menciptakan proses tersebut seolah logis dan ilmiah. Sekedar sebuah contoh apa yang terjadi dengan freeport, newmont dan lapindo. Adakah masyarakat lokalnya mendapatkan manfaat secara signifikan. Hampir mustahil, karena dalam proses tersebut masyarakat lokal hanya sebatas aktor sekunder yang dalam interaksi aktor dipandang tidak memiliki power dan force. Hampir setiap kapitalisasi SDA penyelesaiannya selalu di atas meja seremonial yang disebut “prasmanan politik”. Kita bisa mengidentifikasi kalangan mana saja yang memiliki “kartu masuk” untuk mengakses jamuan tersebut.

Istiqomah untuk menjaga kawasan konservasi tidak dalam konteks beromantisme deep ecology. Karena yang lebih substansi ialah”pesan Tuhan” melalui ayat-ayat kauliyah ini bahwa alam semesta yang secara alami memiliki tata ruang bersifat given. Tatanan tersebut bentuk karunia Tuhan untuk menyediakan manusia alam yang bukan semata bisa untuk hidup, tetapi menikmati hidup dalam dimensi yang lebih luas, nyaman, tenang dan damai.
Apa kebutuhan manusia dalam hidup? Pertanyaan itu selalu kita dapatkan dalam buku-buku sufi termasuk ihya ulumudin karya Al Gazali. Dalam perspektif teologis jawabannya sederhana: menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan dengan alam berserta isinya. Teringat aku salah satu firman Tuhan pada Kitab kejadian 2 : 15 Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalan Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.Kalimat tersebut dalam terminologi agama disebut ibadah, ibadah dalam arti untuk mengusahakan dan memelihara merupakan satu kesatuan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan .
Namun para kaum kapitalis, hanya mengambil satu kata dari firman Tuhan tsb yakni mengusahakan dengan sebebas-bebasnya, mengeruk atau mengeksploitasi kekayaan alam tanpa batas dengan mengumpulkan pundi-pundi dolar . Sangat mengerikan firman Tuhan yang dipelintir dan di utak-atik untuk kepentingan pribadi. Pandanan theologis sebenarnya adalah sumber daya alam (SDA) harusnya diusahakan dan dipelihara , key wordnya adalah pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan(sustainable).
Perubahan kawasan taman nasional, diyakini oleh pihak tertentu sebagai fakta lapangan. Berdasarkan reskoring menunjukkan kawasan tersebut sudah tidak lagi ideal alias mengalami degradasi serius. Sehingga rekomendasi mereka perlu perubahan status kawasan. Kondisi tersebut analogi sebagai berikut: kita ramai-ramai naik perahu ditengah jalan perahu kita bocor. Apakah perahu tersebut harus ramai-ramai ditambah bocornya atau digergaji sekalian kemudian dijual perlembar kayu beserta asset yang ada di dalamnya. Bagi kalangan kapitalisme pastilah perahu tadi digergaji dan dijual asset2nya. Dan mereka yang banyak tadi tidak akan saling berfikir satu dengan yang lainnya. Karena yang terpenting bagi mereka mendapatkan untung sebanyak-banyak. Tapi ingat tidak semuanya seperti mereka, karena diantara mereka ada yang memiliki pandangan bahwa perahu tersebut bukan hanya sesuatu barang ekonomi tetapi yang lebih substansi perahu itu kehidupan mereka. Hilangnya perahu sama dengan hilangnya kehidupan itu sendiri. Perubahan kawasan hutan konservasi semata berdimensi ricardianis di atas karpet merah yang bertaburan butiran-butiran kapitalisme , sebaiknya menjadi renungan bersama untuk merubah mindset kita yakni mengusahakan dan memelihara ekosistem kita dengan lebih bijaksana dengan sistem berkelanjutan yang senantiasa berbasis masyarakat .

Minggu, 22 November 2009

PULAU TERLUAR YANG TERPINGGIRKAN

PULAU TERLUAR YANG TERPINGGIRKAN
By: Gladys Peuru
Nasib Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) kemungkinan sudah usang membicarakannya, tetapi tidak akan basi untuk mengungkapnya karena fungsinya sebagai penentu batas-batas wilayah. Wawasan Nusantara hanya akan menjadi wacana kosong bila tidak mengenal nama dan dimana pulau-pulau tersebut berada. Terlalu banyak buih di mulut daripada optimalisasi rekaman kaset di otak. Begitulah kurang lebih ungkapannya. Tidak berlebihan bila PPKT menjadi garda terdepan dalam menjaga wilayah kedaulatan Indonesia. Posisinya sangat strategis untuk menarik garis Batas Laut Teritorial, Zona Tambahan, Batas Landas Kontinen, dan zona ekonomi Eksklusif. Indonesia sebagai negara kepulauan yang telah diakui oleh UNCLOS dan telah diratifikasi, berhak menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar (TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam kerangka kedaulatan negara. Dipertegas lagi oleh PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Di situ disebutkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi acuan menarik garis pangkal. Anggapan bahwa PPKT merupakan pulau liar tak terurus dan seonggok batu karang, tidak selamanya benar. Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan bervegetasi lebat sampai jarang. Selain itu beberapa PPKT memiliki potensi wisata, keanekaragaman terumbu karang, dan sumber daya perikanan.
Membicarakan nasib PPKT memang terkadang gampang-gampang susah atau manis di teori tapi pelaksanaannya selalu kabur, kenapa saya katakan kabur karena sampai saat ini PPKT tidak berhenti mengalami gonjangan yang super dasyat yakni terpinggirkan dan selalu di menjadi ban serep dalam setiap realita pembangunan. Sangat menyedihkan….! Kasus Sipadan Ligitan yang terpisahkan dari rangkaian pulau-pulau di Indonesia pada tahun 2002 bukan menjadi suatu pelajaran berharga malahan menjadi awal dari kelitikan-kelitikan kecil untuk dipisahkan dari NKRI, bermunculan keinginan penjualan asset negara yang nota bene penentu batas wilayah yakni pulau mentawai…belum selesai pulau mentawai muncul lagi kasus baru pulau Jemur yang siap dijual. Wow……., gimana dengan anak cucu kita nanti…,apakah mereka hanya mengenal nama pulau tersebut tapi tidak memilikinya, atau memilikinya hanya diatas secarik kertas tapi di manfaatkan oleh Negara lain….?
Dari renungan kecil ini kuberharap bahwa…..gempita pemilu dan kemenangan dekmokrasi yang hakiki kemarin, serta pemilihan para menteri yang luarbiasa akan membawa kita kepada suatu kecintaan penuh akan kebersatuan NKRI yang manis dan terjalin rapi penuh keeratan antara pulau yang satu dengan lainnya dengan suatu program yang solid dan pasti untuk menjaga jalinan mutiara berbagai pulau perbatasan dari sabang sampai merauke dengan program-program yang memberdayakannya sebagai halaman depan rumah kita Indonesia tercinta dengan rapi cantik dan menarik sehingga takkan terusik oleh Negara Tetangga.


Jumat, 20 November 2009

MAU DI BAWA KEMANA PULAUKU NAN ELOK….???

Ketika kita menjejakkan kaki kita di pulau lingayan, banyak hal menarik yang kita jumpai di pulau ini. Pulau yang sangat perawan yang belum dijamah oleh kemajuan tehnologi, semakin memperlihatkan pesona alamiahnya.
Sambutan hamparan pasir halus berwarna putih membuat kita terhenyak bagai berjalan di atas permadani stana. Sapaan keramahan masyarakat di sini yang berasal dari berbagai etnis membuat kita betah untuk berlama-lama di pulau ini.
Hari ini kami serombongan teman2 menginap selama 3 hari di pulau nan elok, membuat kebetahan yang semakin terasa, kami menyusuri pesisir pantai pulau yang memiliki luas 122,55ha, di bagian utara terdapat segerombolan hutan mangrove dengan berbagai jenis, sangat mudah untuk mengenalinya…,berjalan lagi sedikit terdapat kumpulan bebatuan dengan berbagai bentuk yang unik. Wou…keren…cuantik buanget. Perjalanan belum nyampe ke bagian selatan kami sudah mendapatkan beberapa ttik tempat penyu bertelur, keinginan untuk melihat proses bertelur dan turun ke laut tidak dapat kami lakukan karena belum musim kata guide kami sang kepala dusun, rugi bener…! Langkah kami gontai menyusuri pesisir pantai kami temui karaker pasir yang bagai permadani halus…..,lembut….,putih…sangat cantik, ingin kubermain sepuasnya di hamparan pasir membentuk gundukan bangunan, kolam-kolam dan macam2 permainan, seperti anak kecil tapi semuanya tidak dapat kulakukan karena waktu udah menjelang sore. Akhirnya kami mempercepat langkah kaki kami untuk tiba di rumah.
Esok hari perjalanan mengelilingi pantai dilanjutkan, ternyata pulau ini benar2 sangat cantik karena di dominasi oleh hamparan pasir putih yang lembut. Setelah selesai mengelilingi pantai kami melepaskan rasa lelah kami di bawah pohon kelapa sambil minum air kelapa , uenak…tenan…, org manado bilang pe sdap skali…! Kemudian kami melanjutkan kegiatan kami untuk menerobos kecantikan hamparan terumbu karang yang terbentang seluas 1500 m2, pemandangan terumbu karang yang membuat kebetahan bagi kami. Tutupan karang yang sangat menarik semakin menambah pesona pulau lingayan.
Pulau Lingayan merupakan pesona alami yang sangat fantastic dan tidak akan dijumpai di tempai lain, pesonanya tidak dapat di uraikan dengan kata2.
Pulau lingayan yang merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Negara Malasyia sangat wajar untuk diberdayakan sebagai daerah wisata. Kenapa harus wisata…apakah tidak ada kegiatan yang lain selain pariwisata …? Pertanyaan ini sering bermunculan apabila aku diskusikan dengan beberapa teman2. Ku jawab pertanyaan mereka bahwa pulau ini cantik, menarik, dan sangat virgin…! Apa kata mereka….nonsens bunda…., ini tidak akan menjawab goal dari apa yang bunda inginkan dan harapkan..! why…., ….sebab ketersediaan sumberdaya hanyalah pemicu perjalanan menuju pengembangan pariwisata, bgmn bisa ada pariwisata kalau tanpa dukungan wisatawan dan penduduk local yang menggunakan sumberdaya itu…, bagaimana aksesbilitasnya…untuk mencapai produk dari objek wisata itu…? Ini semua mengingatkanku pada pernyataan Kelly (1998) dan Gunn (2002) bahwa unsur terpenting bagi permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal, serta ketersediaan waktu dan kelompok pengguna produk tsb, contohnya bahwa pada tahun 1994 rata2 60persen penduduk negara-negara Eropa Barat melakukan perjalanan wisata sekurang-kurannya selama 5 hari. Mundt (1998) menyatakan bahwa persentase tertinggi oleh Jerman (78 %) disusul Swiss (72 %) dan Denmark (71 %), merekalah konsumen utama yang mengonsumsi produk dan layanan wisata yang disediakan di negara atau tujuan wisata.
Benar sekali pernyataan di atas…,namun satu hal yang membuatku untuk memicu harapanku untuk memberdayakan pulau lingayan adalah karena sumberdayanya yang menarik sehingga dapat mengundang wistawan namun sifatnya yang unik yakni berada di wilayah perbatasan. Kenapa….sebab memberdayakan pulau perbatasan dengan produk ekowisata adalah hal terpenting dan cara mudah untuk mendapatkan pengakuan dari dunia International tentang kepemilikan pulau ini.
Masih melekat di benakku mengenai hak kepemilikan pulau Sipadan Ligitan…., Hilangnya dua pulau tersebut dari pangkuan pertiwi bukan saja berarti hilangnya suatu wilayah kecil nusantara namun berimplikasi pada perubahan batas negara termasuk hilangnya potensi penguasaan wilayah laut teritorial dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ZEE (Zone Ekonomi Ekslusif). Kerugian yang tak ternilai secara ekonomi adalah bahwa lepasnya kedua pulau tersebut telah mengusik rasa kebangsaan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan. Tiga aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia yakni keberadaan secara terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation). Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Hayo….gimana untuk mencegah terulangnya hal tsb diatas…?, nah..satu2nya adalah berdayakan pulau perbatasan sebagai beranda depan rumah kita, apabila diperlakukan sebagai beranda depan maka yang ada di benak kita adalah berdayakan dan berdayakan secantik mungkin untuk mengundang tamu-tamu yang akan mengakui bahwa pulau ini adalah milik kita Negara Republik Indonesia dan yang paling menarik adalah pariwisata, karena kehadiran wisatawan asing akan memberikan suatu pengakuan yang hakiki di kancah International’
Wahai…sahabat-sahabatku yang jaoh di mato…, mari kita bersatu hati membangun pulau perbatasan dengan strategi kepemilikan dan penguasaan secara terus menerus dengan mempersolek nya dengan strategi dan program yang aduhai…..pariwisata….oh…pariwisata.....kugenggam erat ide awalku yang kubangun dalam harapan-harapanku…,atau bisakah…aku mengkolaborasikan pariwisata dan konservasi…? Pasti sangat menarik…,tulisan akan berlanjut dalam rangkaian ide dan strategi pengelolaan berkelanjutan dengan tujuan mulia mensejahterakan masyarakat yang terpinggirkan.

Kamis, 20 November 2008

Perencanaan Pembangunan

Contoh Kasus : Suatu wilayah perairan pantai yang sekarang ini digunakan sebagai lokasi wisata bahari, budidaya rumput laut dan budidaya mutiara merupakan satu-satunya lokasi yang cocok untuk pengembangan fasilitas pusat pendaratan hasil tangkapan dan pelabuhan penyebrangan ke wilayah lain. Sehingga pemerintah daerah setempat bermaksud untuk mengembangkan kedua fasilitas tersebut. Bila tidak dipersiapkan dengan baik, diperkirakan akan terjadi konflik cukup tinggi intensitasnya antar masing-masing pihak yang sudah dan atau yang akan memanfaatkan wilayah tersebut. Berdasarkan hasil survei per tambangan, lokasi tersebut juga potensial mengandung gas alam yang berpotensi sebagai pendapatan untuk daerah setempat. Bila anda diminta untuk melakukan perencanaan, maka apa yang harus dilakukan, agar mendapat dukungan dari semua pihak yang berkepentingan (misalnya dengan memperhatikan stakeholder yang terlibat dan langkah-langkah perencanaan yang diperlukan).
Solusi :
Berdasarkan masalah diatas, maka dalam melakukan program perencanaan untuk pembangunan daerah tersebut harus menggunakan analisis stakeholder. Stakeholder adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu (Brown et al 2001). Stakeholder mencakup semua pihak yang terkait dalm pengelolaan terhadap sumberdaya, pengambilan keputusan dan pihak-pihak yang terkena imbas dari penggunaan sumberdaya.
Analisis stakeholder adalah sebuah sistem pengumpulan informasi tentang kelompok atau individu yang terkena dampak dari pengambilan keputusan, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan terjadinya konflik antara kelompok yang berkepentingan dan cakupan wilayahnya (Brown et al, 2001). Analisis stakeholder dilakukan dengan beberapa metode yakni identifikasi stakeholder, dan pengkategorian stakeholder dalam prioritas group tertentu, identifikasi konflik dan . alternative pencegahan dan resolusi konflik
Indentifikasi stakeholder menandakan diawalinya proses analisis stakeholder secara formal, dan merupakan langkah awal dalam melakukan menejemen konflik dan membangun kesepakatan bersama (Brown et all, 2001).
Dalam melakukan perencanaan “program pengembangan fasilitas pusat pendaratan hasil tangkapan dan pelabuhan penyeberangan” pada kasus diatas, maka hal-hal yang harus dilakukan agar mendapat dukungan dari semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) adalah:
Indentifikasi stakeholder menandakan diawalinya proses analisis stakeholder secara formal, dan merupakan langkah awal dalam melakukan menejemen konflik dan membangun kesepakatan bersama (Brown et all, 2001).
Mengidentifikasi siapa saja pihak yang mempunyai kepentingan (stakeholder) terhadap program “pengembangan fasilitas pusat pendaratan hasil tangkapan dan pelabuhan penyeberangan”. Pada kasus ini, stakeholder yang berkepentingan meliputi:
- Pemerintah (dinas perhubungan, dinas perikanan, dinas periwisata, disperidag, dinas pertambangan dan pemerintah daerah)
- Pengusaha/pengelola wisata bahari
- Pengusaha/pembudidaya rumput laut
- Pengusaha/pembudidaya mutiara
- Pengelola pusat pendaratan hasil tangkapan ikan
- Pengelola pelabuhan penyeberangan
- Pengusaha pelayaran
- Pengusaha/investor tambang gas alam
- Nelayan
- Masyarakat pesisir local
- Pedagang
- Pengolah/industry perikanan
- Pemerhati lingkungan (LSM)

Masing-masing stakeholder memiliki kepentingan yang berbeda di tinjau dari sisi ekonomi, social maupun ekologi

b. Pengkategorian stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan (importance) dan tingkat pengaruh terhadap pengambilan keputusan (influence). Menurut Menurut Brown et all (2001) bahwa Stakeholder dapat dikategorikan menurut besarnya pengaruh (influence) dan pentingnya keberadaan (importance) stakeholder tersebut dalam membuat keputusan. Berdasarkan variabel tersebut, maka stakeholder dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu stakeholder primer, stakeholder sekunder dan stakeholder eksternal.
Stakeholder primer merupakan stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi dan paling terkena dampak dari suatu keputusan pengelolaan. Biasanya terdiri dari stakeholder on-site (local) yang bermukim di pesisir. Pada kasus ini, stakeholder primer terdiri dari :
- Masyarakat pesisir local
- Nelayan
- Pengusaha/pembudidaya rumput laut
- Pengusaha/pembudidaya mutiara
- Pedagang
- Pengusaha/pengelola wisata bahari
- Pengolah/industry perikanan lokal
Stakeholder sekunder merupakan stakeholder yang memiliki tingkat pengaruh hampir sama dengan tingkat kepentingan. Pada kasus ini, stakeholder sekunder terdiri dari :
- Pemerintah (dinas perhubungan, dinas perikanan, dinas periwisata, disperidag, dinas pertambangan dan pemerintah daerah)
- Pengelola pusat pendaratan hasil tangkapan ikan
- Pengelola pelabuhan penyeberangan
Stakeholder eksternal merupakan pihak yang berkepentingan tehadap sumberdaya pesisir, namun tidak terkena dampak yang berarti/signifikan dari suatu keputusan pengelolaan sumberdaya pesisir. Pada kasus ini, stakeholder eksternal terdiri dari :
- Pemerhati lingkungan (LSM)
- Pengusaha/investor tambang gas alam
- Pengusaha pelayaran

c. Identifikasi potensi konflik dan keterkaitan stakeholder yang terlibat..
Dengan adanya rencana program pengembangan fasilitas pusat pendaratan hasil tangkapan dan pelabuhan penyeberangan maka akan berpotensi menunjang atau berpotensi konflik dengan stakeholder bidang pemanfaatan lain yang sudah ada sebelumnya seperti wisata bahari, budidaya rumput laut dan budidaya mutiara.

Rencana program pengembangan fasilitas pusat pendaratan hasil tangkapan dan pelabuhan penyeberangan juga berpotensi menunjang atau berpotensi konflik dengan stakeholder yang akan memanfaatkan potensi sumberdaya tambang gas alam mengingat lokasi tersebut potensial mengandung gas alam.
Hal ini dikarenakan aktifitas pendaratan ikan dan pelabuhan pelayaran dapat mengganggu kegiatan wisata bahari, budidaya rumput laut dan budidaya mutiara. Aktifitas pendaratan ikan dan pelabuhan pelayaran dapat mengakibatkan pencemaran akibat ceceran minyak maupun pencemaran yang lain sehingga menurunkan kualitas perairan. Kualitas lingkungan perairan yang baik merupakan syarat utama keberlangsungan kegiatan kegiatan wisata bahari, budidaya rumput laut dan budidaya mutiara.
Tapi disisi lain dengan adanya pelabuhan penyeberangan juga akan menunjang atau memberikan dampak yang positif bagi kegiatan wisata bahari, budidaya rumput laut, budidaya mutiara maupun tambang gas alam karena kemudahan akan transportasi.

d. Alternative pencegahan dan resolusi konflik.
Untuk mencegah terjadinya konflik antar stakeholder, maka dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan hendaknya melibatkan seluruh stakeholder yang telibat. Stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dan paling terkena dampak dari suatu keputusan pengelolaan (stakeholder primer) hendaknya menjadi perioritas perhatian dalam pengambilan keputusan.
Untuk mencegah terjadinya konflik antara stakeholder pendaratan ikan dan pelabuhan pelayaran dengan stakeholder wisata bahari, budidaya rumput laut, budidaya mutiara; maka dalam perencanaan tempat pendaratan ikan dan pelabuhan pelayaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga dampak negative terhadap wisata bahari, budidaya rumput laut, budidaya mutiara dapat dikurangi. Atau dengan kata lain menerapkan teknologi yang ramah lingkungan.
Untuk mencegah terjadinya konflik antara stakeholder pendaratan ikan dan pelabuhan pelayaran dengan stakeholder yang akan memanfaatkan tambang gas alam, maka dalam perencanaan tempat pendaratan ikan dan pelabuhan pelayaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak menganggu potensi penambangan gas alam alur pipa gas maupun tempat ekploitasi gas.
Langkah-langkah perencanaan yang diperlukan adalah:
a. Penetapan proses perencanaan/pembuatan keputusan rencana
b. Identifikasi masalah dan isu-isu kunci
c. Formulasi tujuan akhir (goal) dan tujuan antara (objectives)
d. Melakukan pengumpulan data dan menganalisa kondisi sekarang dan yang akan dating
e. Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dan strategi alternative yang potensial
f. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan dan strategi alternative
g. Mempersiapkan rencana
h. Mengkomunikasikan dan melakukan berbagai perbaikan terhadap rencana
i. Monitoring dan review

Rabu, 21 Mei 2008

Ujian Kologium, langkah awal menjadi kandidat doktor...

Hari ini Rabu, tanggal 21 Mei 2008, tepat satu abad hari kebangkitan nasional merupakan satu momentum bersejarah dalam langkah saya mencapai kandidat doktor. Tepat jam 13.00 wib saya mempresentasikan proposal penelitian saya dihadapan team/komisi pembimbing dan para audience.
Semangat kebangkitan nasional telah memberi inspirasi bagi saya untuk bangkit dan maju ke arah kesejajaran gender. Momentum ini secara pribadi menjadi satu spirit yang akan terus menyemangati perjalanan study dan karir saya, menjadi lebih baik bagi keluarga dan sesama. Kiranya spirit kebangkitan nasional akan terus mengiringi jejak langkah saya dalam menapaki masa depan yang lebih cerah. Tuhan kiranya memampukan saya, amin.